Home / Opini

Jumat, 29 Juli 2022 - 10:14 WIB

Ancaman Rabies Di Era Pandemi Covid-19

dr. Asep Purnama, Sp.PD. (Sekretaris Komite Rabies Flores Lembata)

dr. Asep Purnama, Sp.PD. (Sekretaris Komite Rabies Flores Lembata)

MAUMERE-LENTERAPOS.ID, Lebih dari dua tahun kita-warga global bersatu-padu melawan virus baru, SARS-CoV-2 yang menyebabkan pandemi penyakit COVID-19. Ada hal menarik yang terjadi selama pandemi yakni terdapat penurunan kasus penyakit selain COVID-19, baik yang menular maupun penyakit yang tidak menular.

Hal ini antara lain disebabkan oleh; (1) pasien tidak mau mengunjungi fasilitas kesehatan karena takut tertular COVID-19, (2) jenis pelayanan dibatasi, diutamakan untuk layanan yang bersifat darurat dan esensial, dan (3) sulit untuk mengakses fasilitas kesehatan. Akibatnya, sejumlah penyakit yang biasanya berkontribusi terhadap angka kesakitan dan kematian, seolah–olah “turun”.

Dampak lain dari pandemi yakni refocusing anggaran. Re-alokasi anggaran pemerintah, baik pusat maupun daerah yang diprioritaskan untuk penanganan COVID-19. Akibatnya, dana kesehatan untuk penanganan penyakit selain COVID-19 menjadi berkurang.

Program kesehatan yang bersifat promotif dan preventif yang berperan penting sebagai ujung tombak kesehatan, mau tidak mau harus ditunda. Salah satu program yang terdampak adalah program pencegahan dan penanggulangan rabies.

Rabies di Tahun Pertama Pandemi

Cakupan vaksinasi anti rabies pada anjing di tahun pertama pandemi -tahun 2020-, menurun drastis karena adanya refocusing anggaran. Sebagian besar anggaran direalokasikan untuk upaya pencegahan dan penanggulangan Covid-19. Kasus anjing rabies masih terkendali karena cakupan vaksinasi anjing setahun sebelum pandemi masih mampu melindungi anjing dari penularan virus rabies.

Sebagian besar kita, khususnya anak-anak yang biasanya paling rentan tertular rabies, lebih banyak tinggal di rumah karena takut tertular Covid-19. Bekerja dari rumah, sekolah dari rumah dan berbagai aktivitas lainnya lebih banyak dikerjakan dari rumah secara online. Sehingga sangat kecil kemungkinan pertemuan antara anjing rabies dengan masyarakat.

Akibatnya, kasus gigitan anjing secara nasional menurun cukup bermakna yaitu sekitar 20.000 gigitan dari 100.826 gigitan (tahun 2019) menjadi 82.634 gigitan (tahun 2020). Kematian rabies pada manusia secara nasional juga menurun drastis, dari 105 kematian di tahun 2019 menjadi 40 kematian di tahun 2020.

Baca juga  Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Praduga Bersalah Dalam Hukum Pidana  

Rabies di Tahun Kedua Pandemi

Di tahun kedua pandemi -tahun 2021-, mulai banyak anjing yang tertular rabies akibat rendahnya cakupan vaksinasi anti rabies terhadap anjing di tahun pertama pandemi (tahun 2020). Orang mulai jenuh untuk tinggal di rumah saja. Ekonomi memaksa orang bekerja dan beraktivitas. Anak-anak sebagian sudah sekolah secara tatap muka langsung karena orang tua mulai kewalahan menjadi guru untuk putra putrinya di rumah.

Peningkatan jumlah anjing rabies disertai dengan mulai keluarnya masyarakat dari rumah persembunyiannya masing-masing mengakibatkan pertemuan antara anjing rabies dan manusia. Dan terjadilah gigitan anjing. Korban mulai berjatuhan. Terjadi peningkatan lebih dari 50% angka kematian akibat rabies, dari 40 kematian secara nasional di tahun 2020 menjadi 62 kematian di tahun 2021.

Rendahnya angka kematian akibat rabies di tahun pertama pandemi menyebabkan warga lupa akan upaya Pencegahan Pasca Paparan. Sebagian korban gigitan anjing, tidak segera mencari pertolongan ke Rabies Center terdekat, sehingga akhirnya ajal menjemput sia-sia. Ingat, rabies merupakan penyakit mematikan. Hanya dengan memberikan tatalaksana gigitan HPR secara cepat dan tepat, yang mampu menyelamatkan kita. Jika sudah muncul gejala neurologi akut, tidak akan ada lagi yang mampu menyelamatkannya.

Rabies di Tahun Ketiga Pandemi

Kasus Covid-19 mengalami penurunan di tahun ketiga pandemi, tahun 2022. Masyarakat lebih leluasa bergerak dan beraktivitas. Vaksinasi Covid-19, juga membuat masyarakat lebih percaya diri untuk mulai melakukan aktivitas seperti sedia kala. Peningkatan kasus rabies pada anjing -akibat cakupan vaksinasi masih jauh dari target- tidak diantisipasi, dan masyarakat sudah mulai dibebaskan beraktivitas seperti semula.

Maka, disitulah bencana sesungguhnya terjadi. Anjing rabies bertemu warga, dan memakan korban. Hanya dalam waktu 4 bulan saja (Jan-April 2022), sudah terjadi 20.938 gigitan secara nasional. Jika trend 4 bulan pertama ini berjalan terus, maka diprediksi sampai akhir tahun 2022 akan terjadi 4 x 20.938 gigitan = 83. 772 gigitan.

Baca juga  Karyawan Tewas Dibunuh di Sikka, Polisi Masih Selidiki Motif Pembunuhan

Terjadi peningkatan gigitan HPR, dari 57.254 (2021) menjadi 83.772 gigitan di tahun 2022. Hanya dalam waktu 4 bulan saja (Jan-April 2022), sudah terjadi 19 kematian akibat rabies. Jika trend 4 bulan pertama ini berjalan terus, maka diprediksi sampai akhir 2022 akan terjadi 4 x 19 kematian = 76 kematian. Terjadi peningkatan kematian, dari 62 kematian (2021) menjadi 76 kematian di tahun 2022.

Rabies Mematikan, Tapi Bisa Dicegah

Rabies adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus rabies lyssavirus, yaitu virus yang hidup di jaringan saraf atau virus neurotropik, dan ditularkan oleh “gigitan” hewan penular rabies (HPR), seperti anjing, kucing, dan monyet. Di jaringan otot dan ikat dari lokasi gigitan, virus ini memperbanyak diri, dan melalui saraf perifer, virus ini akan naik ke sistem saraf pusat (otak).

Rabies memiliki masa inkubasi yang berkisar antara dua hingga dua belas minggu, tetapi bisa juga memanjang hingga setahun atau lebih. Masa inkubasi ini diikuti oleh tiga fase gejala, yaitu fase prodromal, fase neurologis akut, dan fase koma. Saat fase prodromal, gejala tidak khas, seperti sakit kepala, mual, muntah, badan terasa lemah, sakit tenggorokan, dan demam.

Setelah masuk fase kedua, yaitu fase neurologis akut, baru gejala klasik rabies muncul. Penderita cenderung gelisah, berhalusinasi, dan perilakunya berubah. Kelenjar keringat, kelenjar ludah dan air mata menjadi lebih aktif. Pada fase ini mayoritas penderita akan mengalami takut air (hidrofobia) dan takut udara (aerofobia).

Setelah fase ini berlangsung 2 – 7 hari, pederita berlanjut ke koma dan meninggal dunia. Saat ini, jika gejala neurologis akut sudah muncul, belum ada modalitas terapi yang mampu untuk menyembuhkan pasien rabies. Angka kematian karena rabies mencapai 100%.

Namun demikian, sudah terbukti bahwa rabies bisa dicegah dengan melakukan Pencegahan Pasca Paparan (PPP). Setiap korban gigitan HPR, segera lakukan pencucian luka dengan sabun dan air mengalir selama 15 menit, kemudian berikan Vaksin Anti Rabies (VAR) serta Serum Anti Rabies (SAR) jika ada indikasi.

Baca juga  Wartawan di Era Digital Tidak Cukup 5W + 1H

Namun, PPP merupakan kegiatan yang bersifat reaktif. Untuk melindungi masyarakat secara keseluruhan, dibutuhkan kegiatan pencegahan di pangkal permasalahan, yaitu dengan cara memberikan vaksin anti rabies pada semua HPR. Mengajak masyarakat pemilik HPR untuk peduli akan kesehatan hewan peliharaannya. Anjing menjadi fokus perhatian, karena anjing merupakan hewan penular rabies paling dominan di dunia. Tidak berlebihan jika pernah ada tema hari rabies sedunia: Anjing sehat keluarga selamat’. Jadilah pemilik anjing yang bertanggung jawab.

Upaya Mencegah Kematian Akibat Rabies

Kita harus mencegah terjadinya skenario terburuk diatas, supaya tidak terjadi peningkatan kematian karena rabies di tahun 2022 ini. Caranya yakni; (1). Segera lakukan vaksinasi anjing (HPR). Minimal 70% dari populasi HPR yang ada. (2). Sosialisasi masif tata laksana gigitan HPR kepada masyarakat rentan dan petugas kesehatan. (3). Siapkan logistik, khususnya Vaksin Anti Rabies (VAR) dan Serum Anti Rabies (SAR), jangan sampai terjadi kekosongan.

Sekali lagi, PPP merupakan tindakan untuk mengatasi permasalahan rabies di bagian hilir dan biayanya cukup mahal. Hanya untuk menyiapkan SAR bagi korban kasus gigitan HPR, diperlukan biaya sekitar Rp 5 juta per orang dengan berat badan 45 kg.

Jika kita mau mencegah penularan rabies maka kita perlu lebih fokus mengatasi permasalahan rabies di bagian hulu yang berbiaya relative lebih murah yaitu upaya vaksinasi HPR secara serentak dengan cakupan minimal 70% dari populasi. Tentu diperlukan kerja sama semua pihak terkait (One Health) untuk mewujudkan Indonesia Bebas Rabies 2030.

Semoga kita semua lebih peduli dan bisa mengantisipasi agar tidak terjadi peningkatan korban sia-sia karena rabies di Indonesia tercinta. Tetap semangat. Bersama kita bisa. OLeh: Dr. Asep Purnama, Sp.PD. (Sekretaris Komite Rabies Flores Lembata. PNS, bekerja di RSUD TC Hillers Maumere)

Share :

Baca Juga

Opini

Bangun Budaya Literasi di NTT Dengan Kerjasama Multisektor 

Opini

Hey JOSS !, Kami Menunggu Janjimu di Tanah Terjanji-Samador 

Opini

Asas Praduga Tidak Bersalah dan Asas Praduga Bersalah Dalam Hukum Pidana  

Opini

Perumda Mawarani Gagal Total, Wujud Kegagalan Bupati dan DPRD Sikka    

Opini

Aset Negara Rentan Dialihkan, Oleh: Marianus Gaharpung, SH., MH  

Opini

John Bala; Terima Kasih JPIC SVD Ende (Dari Catatan Pinggir yang Masih Tersisa)

Opini

Wartawan di Era Digital Tidak Cukup 5W + 1H

Opini

Kabupaten Sikka Punya Perda Rabies, Sayang Lemah Di Penegakan