MAUMERE-LENTERAPOS, Kuasa Hukum Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) proyek ruang rawat inap Rumah Sakit Pratama (RSP) Doreng, Fransisco Soares Pati, SH menilai tidak tepat Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Sikka mengkategorikan kasus pembangunan ruang rawat inap sebagai kasus Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Menurutnya, kasus tersebut terjadi pada tahap pelaksanaan awal dengan anggaran yang baru terealisasi adalah uang muka 15 %. Sayangnya, rekanan pelaksana PT. Timur AHAVA Perkasa-Kupang ternyata tidak mengerjakan pekerjaan tersebut sampai batas akhir pekerjaan.
Lantaran itu kata Fransisco, Gregorius Geovani, sesuai kewenangannya telah berupaya untuk menyelamatkan pekerjaan dengan memberi perpanjangan waktu (addendum) sebanyak 2 kali bagi rekanan untuk menyelesaikan pekerjaan demi tercapainya asas manfaat.
Oleh karena kontrak tersebut telah masuk kategori kontrak kritis dan hingga batas waktu addendum yang diberikan ternyata rekanan tidak juga melaksanakan pekerjaan meski PPK telah melakukan teguran, maka tidak ada pilihan lain bagi Gregorius Geovani sesuai dengan kewenangannya sebagai PPK melakukan pemutusan kontrak.
Dikatakan, PPK dan rekanan pelaksana terikat dalam kontrak. Hubungan perikatan tersebut adalah hubungan keperdataan. Maka, bila salah satu pihak tidak patuh terhadap kesepakatan yang tertuang dalam kontrak, maka pihak tersebut dinilai ingkar janji atau wanprestasi.
“Rekanan tidak melakukan kewajibannya. Lalu Gregorius Geovani oleh karena kewenangannya sebagai PPK melakukan pemutusan kontrak. Maka di sini, yang wanprestasi adalah rekanan. Sehingga, tidak serta merta menyimpulkan bahwa kasus wanprestasi ini sebagai kasus korupsi,” ujar Fransesco ujarnya, Rabu, 11/12/2024
Fransisco mengatakan, prinsip pertanggungjawaban pidana bersifat personal. Namun dalam kasus pembangunan ruang rawat inap RSP Doreng, harus dilihat secara komprehensif dari seluruh rangkaian proses. Mulai dari tahap perencanaan, pra kontrak hingga pasca kontrak.
Masih kata Fransisco, didalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum juga menjabarkan peran dari Pokja III dalam tahap pra kontrak. Fransisco menilai bahwa ada tanggung jawab Pokja III yang mestinya tidak dibebankan kepada PPK.
“Nah, yang tahu dan bertanggungjawab terhadap penentuan rekanan dalam proses tender adalah Pokja III, bukan PPK. Kita jangan hanya menyimpulkan akibat tanpa melihat penyebab dan menilai hasil tanpa melihat proses,” tegasnya.
Disinggung soal kerugian negara yang disangkakan kepada terdakwa, Fransisco mengatakan bahwa sah sah saja Jaksa Penuntut Umum (JPU) menentukan nilai kerugian negara. Namun harus dibuktikan apakah kerugian negara itu nyata (actual loss) atau kemungkinan kerugian yang akan muncul (potensial loss).
Masih kata Fransisco, Jaksa Penuntut Umum dalam dakwaan menyebut bahwa nilai kerugian negara yang dikenakan kepada terdakwa berupa; uang muka Rp. 568.833.777 dan jaminan uang sebesar Rp.214.217.300.
Dimana dari perhitungan tersebut, kerugian negara yang berhasil diselamatkan adalah sebesar Rp. 584.229.000. Sementara jaminan uang muka sebesar Rp. 214.2017.300 dianggap tidak bisa diselamatkan sebab tidak dicairkan oleh PPK.
Jaminan uang muka jelas Fransisco, adalah jaminan yang diterbitkan oleh lembaga penjamin seperti lembaga asuransi atau bank sebagai penanggung kepada rekanan (tertanggung). Rekanan membayar kepada lembaga penjamin, lalu lembaga penjamin mengeluarkan sertifikat jaminan. Manakala rekanan wanprestasi, maka jaminan tersebut akan dicairkan. Uang yang dicairkan oleh lembaga penjamin tersebut bukanlah uang negara.
Dalam konteks kasus ini kata Fransisco, PPK telah berupaya mencairkan jaminan uang muka kepada lembaga penjamin, tetapi tidak ada uang. Lantaran itu sambung Fransisco, PPK mengeluarkan surat kepada rekanan untuk permohonan klaim uang pengganti jaminan uang muka.
“Perikatan jaminan antara rekanan dan lembaga penjamin adalah hubungan keperdataan dan murni piutang subrogasi. Harus diingat bahwa uang lembaga penjamin bukanlah uang negara. Lantas kerugian negara yang nyata itu dimana,” jelasnya
Sebab kata Fransisco, dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 25/PUU-XIV/2016 terjadi pergeseran paradigma terhadap makna delik korupsi dari delik formil menjadi delik materiil.
“Artinya, dalam tindak pidana korupsi, kerugian keuangan negara harus dibuktikan secara riil atau nyata, bukan potensi kerugian yang akan muncul,” ujarnya.
Selain itu kata Fransisco, harus dilihat lembaga mana yang mengeluarkan nilai perhitungan kerugian negara tersebut. Sebab Surat Edaran Mahkama Agung (SEMA) Nomor: 04 Tahun 2016, lembaga yang dapat menentukan kerugian negara secara pasti adalah BPK, bukan BPKP atau accounting publik. Itu juga sejalan dengan UU Nomor 15 Tahun 2006 Tentang BPK Pasal 1 Ayat 1 Juncto Pasal 10 Ayat 1.
“Siapa saja boleh menghitung kerugian negara. Tetapi yang berwenang menyimpulkan kerugian negara itu nyata harus berdasarkan keputusan BPK,” tandasnya. (VT)