MAUMERE-LENTERAPOS.id, Bupati Sikka Fransiskus Roberto Diogo (Robi Idong) melalui Dinas Kesehatan (Dinkes) mencanangkan Sikka Stop Buang Air Besar Sembarangan (BABS) pada tahun 2022. Hal itu disampaikan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Sikka Petrus Herlemus kepada media usai memandu rangkaian acara peringatan Hari Kesehatan Nasional (HKN) ke-57 di Gedung Sikka Convention Centre (SCC) Maumere, Selasa (30/11/2021).
Dikatakan Herlemus, instruksi Bupati agar Sikka stop BABS 2022 bisa terwujud bila ada kerjasama lintas sektor dan kolaborasi antar stakeholder. “Bersyukur hari ini seluruh 21 camat hadir kemudian hampir keseluruhan desa kelurahan hadir, juga 25 sanitarian dan 25 kepala puskesmas juga turut partisipasi. Itu artinya kita punya niat baik dalam pencanangan ini dan tentu akan maksimal jika seluruhnya bergerak,” ujar Herlemus
Pada momentum HKN ke-57, lanjut Herlemus, Dinkes tidak sekedar mencanangkan namun disampaikan juga soal strategi percepatan menuju Sikka stop BABS 2022. Dimana kata Herlemus, BABS adalah sesuatu yang menyangkut perilaku dan lingkungan. “Perilaku dan lingkungan menjadi prioritas untuk kita perhatikan ke depan,” jelasnya.
Dampak dari sanitasi buruk mengakibatkan kasus diare jadi meningkat. Selain itu berdampak juga pada tingginya angka stunting, Untuk kebijakan anggaran, Herlemus mengatakan bahwa Bupati telah menginstruksikan agar ada intervensi anggaran baik OPD teknis dan dari dana desa.
“Untuk kasus diare, terbanyak terjadi di desa dan perkotaan. Tertinggi di wilayah Kelurahan Wolomarang karena komunalnya terlalu banyak dan jamban tidak layak. Sehingga perlu intervensi jamban layak dengann sanitasi yang baik,” jelasnya.
Dilihat dari data keseluruhan Kabupaten Sikka, untuk akses jamban baru mencapai 88 persen dan kepemilikan jamban baru 77 persen. Hal inilah yang mendorong Bupati melalui Dinkes mempercepat kerja agar target 2022 Sikka stop BABS dapat terwujud. Dengan gambaran tersebut, mestinya angka BABS atau Open Defecation Free (ODF) Kabupaten Sikka sudah 80 persen.
“Setelah kita evaluasi ternyata beberapa desa yang angka kepemilikan jambannya rendah enggan deklarasi BABS. Padahal, substansi dari BABS atau ODF ini adalah akses jamban, bukan kepemilikan jamban. Dan ternyata dari 77 persen kepemilikan jamban, hanya 50 persen yang layak. Maka itu, strateginya adalah, yang tidak layak kita layakan dan yang belum punya kita bangun secara layak,” jelas Herlemus. (MRS)